Kamis, 31 Oktober 2013

Imamah, de Jure atau de facto?

Catatan Mutaallim Sunni
26 Dzulhijjah 1434

Dalam Buku Putih Mazhab Syiah (BPMS) Cetakan ke IV Desember 2012 pada halaman 22 dinyatakan bahwa : "kebijakan Tuhan (al hiikmah al ilahiyyah) menuntut perlunya kehadiran seorang imam setelah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan lebih sulit dicapai. Oleh karena itu syiah meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat ada seorang Imam untuk setiap masa yang melanjutkan misi Rasulullaah. Dalam hal ini syiah (imamiyah) bahwa Allah telah menetapkan garis Imamah sesudah Nabi Muhammad pada orang-orang suci dari dzuriyat atau keturunannya yang berjumlah 12 orang yaitu 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan Ibn Ali, 3. Husain Ibn Ali, 4. Ali Ibn Husain, 5. Muhammad Al Baqir, 6. Ja'far Ibn Muhammad, 7. Musa Ibn Ja'far, 8. Ali Ibn Musa, 9. Muhammad Ibn Ali, 10. Ali Ibn Muhammad, 11. Hasan Ibn Ali dan 12. Muhammad Ibn Hasan Al Mahdi".
Selanjutnya pada halaman 23 dilankutkan pada halaman 24 dinyatakan bahwa : "kedua belas Imam itu telah dinyatakan oleh Rasulullaah sebagai Imam-imam sesudahnya. Pengangkatannya, syiah meyakini bahwa seorang Imam diangkat melalui nash atau pengangkatan jelas oleh Rasulullaah atau oleh Imam sebelumnya. Imam Ali Ibn Abi Thalib misalnya, syiah meyakini bahwa Nabi telah mengangkat dan menetapkannya sebagai Imam sesudah beliau. Kemudian juga dinyatakan bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintaha Islam, imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka.

Catatan Mutaallim Sunni
  1. Masalah Imamah ini ternyata sangat penting menurut Rafidhah Imamiyah Itsna Atsariyyah hingga disebut sebagai bagian dari kebijakan Tuhan yang tujuan penciptaan menjadi sulit dicapai tanpa Imamah. Bahkan Allah sudah menetapkan siapa-siapa sebagai Imam hingga 12 orang melalui nash dan pengangkatan oleh Rasulullaah.
  2. Jika hal Imamah ini begitu urgen kenapa dalam Al Quran tidak ada hal khusus yang menyebutkannya misalnya sebuah surah, karena untuk urusan sapi betina saja pada zaman Nabi Musa alaihissalaam, diabadikan dalam surah terpanjang yang bahkan diberi judul Surah Al Baqarah (Sapi betina).
  3. Kenapa pula tidak ada ayat dalam Al Quran yang menyebut kata Imamah, yang ada hanya kata Imam dalam bentuk tunggal mudzakkar disebutkan dalam 7 ayat dan hanya satu ayat yang menyebut dalam pengertian manusia sebagai Imam dalam hal ini Khalilullaah Ibrahim alaihissalaam dalam surah Al Baqarah ayat 124, selain itu Imam dalam artian kitab.
  4. BPMS menyebut kata "syiah (imamiyah)", maka bagaimana keyakinan orang lain yang juga mengaku syiah seperti zaidiyyah dan Ismailiyyah, yang tidak sependapat dengan rafidhah imamiyah dalam soal Imamah ini?. Tentunya tak boleh ada kontroversi jika urusan Imamah ini adalah bagian kebijakan Tuhan.
  5. Jika Allah Azza Wa Jalla benar telah menetapkan ke-12 orang Imam itu sesudah Nabi-Nya, kenapa nama Ali Ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu misalnya tidak ditemukan secara tersurat dalam Al Quran sebagaimana penyebutan nama-nama para Nabi dan Rasul Allah, padahal untuk urusan yang lain yang tidak se-urgen Imamah, Allah menyebut nama Zaid (anak yang dipelihara oleh Rasulllaah sejak kecil hingga dewasa, sebagaimana Ali Ibn Abi Thalib sendiri) secara tersurat untuk urusan perceraiannya di surah Al Ahzab ayat 37. Padahal kedudukan Zaid tidak ada apa-apanya dibanding Ali Ibn Abi Thalib sepupu dan menantu Nabi. Bahkan nama Abu Lahab yang kafirpun disebut secara jelas. Nama ke 11 Imam setelahnya pun tak ada.
  6. Disebutkan bahwa setelah Ali Ibn Abi Thalib adalah Hasan Ibn Ali setelah itu Husain Ibn Ali radiyallaahu anhum, setelah itu semuanya adalah keturunan Husain ibn Ali radiyallaahu anhu. Kenapa tidak ada keturunan Hasan Ibn Ali radiyallahu anhu padahal beliau juga punya keturunan dan mereka semuanya adalah Ahlul Bait
  7. Dari ke-12 Ahlulbait tersebut yang diklaim sebagai pemilik Imamah oleh rafidhah imamiyyah itsna asyariyyah, yang benar-benar memegang kekuasaan pemerintahan politik secara de jure dan de facto dalam sejarah hanya 2 orang yaitu Ali Ibn Abi Thalib dan Hasan Ibn Ali radiyallaahu anhuma. Yang lain tidak, bahkan sekedar sebagai lurah saja tidak. Jika ingin memasukkan nama Zaid Ibn Ali Ibn Husain Ibn Ali maka bisa menjadi 3 orang karena beliau punya pasukan pendukung militer bersenjata  ketika beliau memberontak pada zaman Hisyam Ibn Abdul Malik melebihi saudaranya Muhammad Al Baqir yang terdapat dalam daftar Imamah. Bahkan bisa jadi 4 orang jika memasukkan nama Muhammad Al Hanafiyyah Ibn Ali Ibn Abi Thalib, beliau punya pendukung dan pengikut setia yang banyak pula melebihi saudaranya Husain Ibn Ali yang ada dalam daftar Imamah klaim rafidhah imamiyah
  8. Diklaim dalam BPMS bahwa para Imam adalah selain sebagai pemimpin politik juga sebagai pemimpin spiritual tertinggi yang pengangkatannya secara nash atau diangkat langsung oleh Rasulullaah atau oleh Imam sebelumnya. Dalam sejarah kenyataannya secara de jure dan de facto yang ditunjuk oleh Rasulullaah sebagai Imam sholat kaum Muslimiin di Masjid Beliau ketika Beliau Shallallaahu alaihi wasallam sakit adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallaahu anhu dan bukan Ali Ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu, yang kemudian ikut berbaiat pada Abu Bakar ketika beliau naik menjadi khalfah dan Ali Ibn Abi Thalib tidak pernah ketinggalan sholat berjamaah sebagai makmum di belakang Abu Bakar yang bertindak sebagai Imam sholat sebagaimana penunjukan oleh Rasulullaah sebelumnya.
  9. Secara de jure dan de facto sejarah Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah setelah Utsman Ibn Affan radiyallaahu anhu. Jika benar Imamah Ali Ibn Abi Thalib adalah kebijakan Tuhan maka tentunya beliau tidak akan membiarkan Abu Bakar, Umar kemudian Utsman radiyallaahu anhum. Karena disebutkan bahwa beliau Ali Ibn Abi Thalib adalah seorang pemberani yang tidak takut kepada sesuatupun selain Allah Azza wa Jalla serta sangat menjaga agama yang dibawa oleh Rasulullaah Muhammad sepupu dan mertua beliau. Kenyataannya secara sejarah, beliau melakukan baiat pada ketiga khalifah sebelumnya.
  10. Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat, Al Hasan ibn Ali radiyallaahu anhu naik menjadi khalifah atau Amirul Mu'miniin. Secara de jure dan de facto dalam sejarah Amirul Mu'miniin Hasan Ibn Ali malah menyerahkan kekhalifahan pada Mu'awiyyah Ibn Abi Sufyan penguasa Syam radiyallaahu anhuma bukan kepada adiknya Al Husain Ibn Ali. Apakah Al Hasan Ibn Ali tidak tahu tentang daftar Imamah Ilahiyyah seperti wasiat kakeknya Nabi Muhammad Shallaahu alaihi wasallaam??, ataukah daftar urutan Imamah itu memang tidak ada?. Jika syarat jadi Imam adalah ditetapkan oleh Imam sebelumnya, maka Muawiyah radiyallaahu anhu adalah sah secara de jure kemudian de facto sebagai khalifah karena diserahi tugas kekhalifahan oleh Imam Ahlul Bait Al Hasan Ibn Ali sebagai pemimpin politik dan spiritual tertinggi.
  11. Sesungguhnya kepemimpinan bagi para Ahlul Bait adalah seperti musibah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib dalam pidato beliau yang terangkum dalam Nahjul Balaghah, beliau berkata : " Tinggalkanlah aku dan carilah selain aku, jika kalian meninggalkanku maka aku sama seperti kalian. Bisa jadi akulah yang paling mendengarkan dan paling menaati orang yang kalian pilih sebagai pemimpin kalian. Menjadi pembantu kalian bagiku jauh lebih baik daripada menjadi pemimpin kalian" (Nahjul Balaghah khutbah no 92 hal 236). Jika Imamah adalah keputusan Allah atas beliau maka dalam keadaan apapun beliau tidak boleh berkata seperti itu kepada masyarakat. Beliau bisa berkata seperti itu karena masyarakatlah yang menghendaki beliau jadi pemimpin dan membaiatnya. Dari sejarah diketahui bahwa para Imam Ahlul Bait bukanlah orang-orang yang tamak pada kepemimpinan walau secara kompetensi merekalah yang paling pantas. Mereka adalah manusia-manusia yang menjaga martabat dan kehormatannya.
  12. Ali Ibn Abi Thalib menulis surat kepada Muawiyah : "Orang-orang yang membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman telah membaiatku untuk menjalankan sebagaimana yang dibaiatkan kepada mereka bertiga, sehingga orang yang hadir tidak berhak memilih dan yang tidak hadir tidak berhak menolak. Syura adalah hak kaum Muhajirin dan Anshar. Apabila mereka bersepakat menjadikan seorang sebagai Imam maka itulah ridha Allah. Jika orang itu keluar dari amanat mereka karena berbuat cela atau bid'ah maka mereka memasukkannya kembali ke posisi semula. Jika ia menolak untuk kembali maka mereka memeranginya karena ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, padahal Allah telah memberinya jabatan itu (     إِنَّهُ بَايَعَنِي الْقَوْمُ الَّذِينَ بَايَعُوا أَبَا بَكْر وَعُمَرَ وَعُثْمانَ عَلَى مَا بَايَعُوهُمْ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِلشَّاهِدِ أَنْ يَخْتَارَ، وَلاَ لِلغَائِبِ أَنْ يَرُدَّ، وَإنَّمَا الشُّورَى لِلْمُهَاجِرِينَ وَالاَْنْصَارِ، فَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى رَجُل وَسَمَّوْهُ إِمَاماً كَانَ ذلِكَ لله رِضىً، فَإِنْ خَرَجَ عَنْ أَمْرِهِمْ خَارِجٌ بِطَعْن أَوْبِدْعَة رَدُّوهُ إِلَى مَاخَرَجَ منه، فَإِنْ أَبَى قَاتَلُوهُ عَلَى اتِّبَاعِهِ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، وَوَلاَّهُ اللهُ مَا تَوَلَّى )". (Nahjul Balaghah, Kitab Ila muawiyah no 6 hal 526). Ungkapan Amirul mukminin Ali Ibn Abi Thalib ini mengandung beberapa poin penting : a. Musyawarah (Syura) adalah hak para Shahabat Rasulullaah dari Muhajirin dan Anshar, b. Kesepakatan para Shahabat untuk mengangkat seorang Imam adalah faktor turunnya keridhaan Allah sekaligus tanda persetujuan-Nya, c. Imamah di masa shahabat tidak dapat ditegakkan tanpa andil mereka atau tanpa pemilihan mereka, d. Keputusan dan kebijakan para shahabat hanya ditolak oleh pelaku bid'ah yang memberontak dan mengikuti selain jalan orang mukmin. Maka dimanakah kesesuaian klaim imamah rafidhah imamiyyah itsna asyariyyah dengan poin-poin penting tersebut di atas (Tsumma Abshartul Haqiiqah halaman 161 sebagaimana dikutip dalam  فكر الخوارج والشعة للدكتور الصلابي )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar