Rabu, 23 Oktober 2013

Hadits Ghadir Khum


Catatan Mutaallim Sunni
18 Dzulhijjah 1434

Dalam Buku Putih Mazhab Syiah (BPMS) Cet. IV, 2012 pada bagian lampiran 2 (halaman 147-157), disebutkan tentang Hadits Ghadir Khum, suatu tempat antara Mekkah dan Medinah, bahwa sesudah haji wada, Rasulullaah Shallallaahu alaihi wasallam berkhutbah di tempat tersebut dibawah terik matahari, di hadapan 150.000 orang shahabat sambil memegang tangan Imam Ali Ibn Abi Thalib (a.s). Hadits ini dikatakan yang paling mutawatir karena disaksikan puluhan ribu shahabat. Selanjutnya dikutip sabda Rasulullaah
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ وال من والاه وعاد من عاداه
Diterjemahkan dalam BPMS : “Barangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, dan musuhi orang yang memusuhinya”.

Kemudian disebutkan redaksi lain diantaranya
من كنت مو لاه فهذا علي مولاه
Diterjemahkan dalam BPMS : “Barangsiapa menjadikan aku mawla-nya maka ini Ali adalah mawla-nya”.

Selanjutnya disebutkan bahwa Umar Ibn Khattab adalah orang yang pertama kali mengucapkan selamat atas kepemimpinan Ali sekaligus mengakuinya. Lalu disebutkan referensinya sebanyak 81 sumber yang semuanya sumber sunni.

Catatan Mutaallim Sunni

Sebagian besar catatan disadur dari buku  
فكر الخوارج و الشيعة للدكتور الصلابي
 
  1. Ghadir Khum adalah tempat antara Mekkah dan Medinah, tepatnya di Al Juhfah, berjarak hampir 26 mil dari Rabigh ke arah timur. Saat ini tempat itu dinamakan Al Ghurbah. Di tempat inilah dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullaah berceramah menyampaikan keutamaan Ali ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu.
  2. Peristiwa Ghadir Khum setelah haji wada, artinya Rasulullaah hendak kembali ke Medinah, maka yang mendengarkan ceramah Beliau adalah penduduk Medinah dan yang searah yang melewati rute ke Medinah.
  3. Perbedaan pendapat antara Ahlussunnah dengan Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah terletak pada interpretasi sabda Rasulullaah Shallallaahu alaihi wa sallam, bukan pada keshahihan hadits. Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah berdalih bahwa kata maula berarti kepemimpinan/kewalian, sedang Ahlussunnah berdalil bahwa kata maula berarti al Muwalah yang artinya menolong serta mencintai sebagai lawan dari kata Al Mu'adah yang berarti memusuhi. Beberapa alasannya :
    a). Ada redaksi tambahan yang disebutkan dalam beberapa riwayat yang sebagiannya dianggap shahih oleh sebagian ulama ahlussunnah, yaitu doa Rasulullaah : Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, dan musuhi orang yang memusuhinya. Kata memusuhi ini adalah penjelasan terhadap makna kata maula, sehingga maula berarti orang yang ditolong dan dicintai.
    b). Ibnu Katsir mengatakan bahwa kata maula bisa dialamatkan kepada Tuhan, pemilik/raja, pemberi nikmat, penolong, pencinta, teman dekat, hamba sahaya, tuan yang memerdekakan, keponakan, dan besan. Semua ini diungkapkan oleh orang arab dengan kata maula.
    c). Rasulullaah adalah orang Arab yang paling fasih, jika Rasulullaah memaksudkan bahwa imamah kekhalifahan adalah milik Ali sepeninggal Beliau, maka tidaklah beliau akan menggunakan kata dengan yang memiliki banyak pengertian untuk meminimalisir perbedaan penafsiran. Pastilah beliau akan bersabda : Ali adalah penggantiku sepeninggalku atau dengan redaksi semisal.
    d). Dalam surah Al Hadid ayat 15, Allah Subhanahu wa taala menyebut kata neraka sebagai maula karena sangat lekat dan menyatu dengan orang-orang kafir.
    e). Al muwalah (menolong dan mencintai) adalah karakter yang melekat pada diri Ali radiyallaahu anhu, jadi menurut pengertian ini Ali radiyallaahu anhu adalah wali kita sebagaimana Firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 55
    f). Tentang hadits ini yang diriwayatkan melalui jalur Zaid ibn Arqam,Imam Asy Syafii menjelaskan bahwa kata maula maksudnya adalah solidaritas Islam sebagaimana firman Allah dalam surah Muhammad ayat 11, sehingga hadits ini hanya menunjukkan bahwa Ali adalah seorang wali Allah yang wajib ditolong dan dicintai serta didukung, bukanlah maksudnya sebagai kekhalifahan.
  4. Peristiwa Ghadir Khum memiliki latar belakang sebagaimana yang dituturkan oleh shahabat Buraidah in Al hashib radiyallaahu anhu bahwa Ali diutus oleh Rasulullaah kepada Khalid al Walid di Yaman untuk membagi ghanimah menjadi lima bagian dan mengambil seperlimanya. Diantara rampasan perang itu ada seorang dayang-dayang yang cantik, maka dayang ini masuk ke yang seperlima dan Ali memberi tahu shahabat yang lain bahwa itu menjadi bagiannya dan ia menggaulinya. Para shahabat yang lain tidak menyukai hal tersebut maka Khalid mengirim surat kepada Rasulullaah yang dibawa oleh Buraidah yang juga tidak menyukai perbuatan Ali. Maka Rasulullaah kemudian bersabda pada Buraidah : Jangan membencinya. Sebab haknya dalam seperlima lebih banyak dari itu.
  5. Diriwayatkan pula banyak orang yang tidak menyukai kebijakan keras Ali ibn Abi Thalib terhadap pasukan dari Yaman yang juga menuju Mekkah untuk berhaji. Mendengar kabar miring tentang Ali tersebut maka Rasulullaah setelah haji wada saat pulang melintasi Ghadir Khum, Beliau berkhutbah untuk menyatakan ketidakbersalahan Ali, mengangkat nama baiknya dan menegaskan keutamaannya, agar lenyap keraguan orang-orang terhadap Ali ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu. Rasulullaah menunda penjelasan beliau hingga selesai haji wada hingga di Ghadir Khum karena yang mengkomplain Ali adalah para shahabat dari Medinah dan merekalah yang berperang bersama Ali. Maka khutbah itu khusus untuk mereka.
  6. Salah satu bukti bahwa khutbah itu khusus bagi mereka yang tidak mengenal keutamaan Ali ibn Abi Thalib adalah ketika Buraidah radiyallaahu anhu meremehkan Ali dihadapan Rasulullaah karena kekerasan sikap Ali,raut muka Rasulullaah berubah, kemudian Beliau bertanya, “Wahai Buraidah bukankah aku orang yang lebih utama diantara orang yang beriman dibanding diri mereka sendiri?, Tentu saja wahai Rasulullaah jawab Buraidah, selanjutnya Rasulullaah bersabda Barangsiapa aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya.
  7. Peristiwa yang terjadi ketika Ali radhiallahu anhu telah menjadi khalifah, sekelompok orang menemui Ali dan mengucapkan Assalamu Alaikum wahai maula kami. Ali menukas :”Bagaimana bisa aku menjadi maula kalian sedang kalian adalah orang-orang arab?, mereka menjawab, sewaktu di Ghadir khum, kami mendengar Rasulullaah bersabda bahwa Barangsiapa aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ketika mereka pergi aku (Rihyah Al harits, yg bercerita), mengikuti mereka lalu aku bertanya siapa mereka itu?, orang-orang menjawab : sekelompok kaum Anshar (medinah) diantaranya terdapat Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu anhu. Pelajarannya adalah bahwa Ali radhiallahu anhu sendiri tidak memahami kata maula dengan arti pemimpin atau imam, jika Ali memahami bahwa kata maula berarti pemimpin maka tentu beliau tidak menegur orang-orang yang memanggilnya “wahai maula kami”, karena saat itu beliau adalah seorang Khalifah.
  8. Dari buku kelompok Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah sendiri terdapat riwayat dari Ahlul bait yang menolak hadits Ghadir Khum sebagai teks dalih atas imamah dan kekhalifahan Ali sepeninggal Rasulullaah
    a. Imam Al Husain radiyallaahu anhu pernah ditanya. Bukankah Rasulullaah bersabda “Barangsiapa aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya?, Al Husain menjawab : “Ya, akan tetapi wallahu a'lam, yang dimaksud Rasulullaah bukanlah imamah ataupun kekuasaan. Seandainya maksudnya memang seperti itu, tentulah Beliau sudah mengatakannya dengan jelas kepada mereka.
    b. Imam Abdullah putra Al Husain mengatakan “Tidak seorangpun di antara kami yang mempunyai keistimewaan dalam urusan ini dibandingkan orang lain, dan tidak satupun dari ahlulbait menjadi Imam yang Allah wajibkan untuk ditaati”. Dalam riwayat ini Abdullah menolak jika Imamah Amirul mukminin Ali adalah wahyu dari Allah.
  9. Karena seluruh sumber yang disebut dalam BPMS tentang Ghadir Khum adalah dari sunni maka berikut teks lain dari sunni terkait Ali radhiallahu anhu dan kekhalifahan :
    - Ali ibn Abi Thalib berkata,
“Ketika Nabi Shallallaahu alaihi wasallam wafat, kami melihat situasi kami, lalu menyadari bahwa Nabi telah memilih Abu Bakar sebagai Imam untuk Sholat. Dan kami merasa tentram untuk memilih untuk urusan dunia kami, orang yang sama dengan yang dipilih oleh Rasulullaah untuk  urusan agama kami. Oleh karena itu, kami memilih Abu Bakar sebagai khalifah.At-Tabaaqaat, oleh ibn Sa’ad (3/183)]
    - Ali juga berkata "Manusia terbaik setelah Rasul Allah adalah Abu Bakar dan Umar. Kecintaan padaku tidak akan bersama dengan kebencian terhadap Abu Bakar dan Umar di hati-hati orang yang beriman”[At-Tabarani dalam al-Awsat]
    - Ali juga berkata "Tidak ada orang yang menemuiku, kemudian mengutamakan aku di atas Abu Bakar dan Umar, kecuali aku akan mencambuk orang itu seperti hukuman seorang pengkhianat” [Al Furgaan Baynal Haq wal Baatil (pg. 21,22)]

    - Dari Ali
Diceritakan oleh Muhammad bin Al-Hanafiya (putra Ali): Aku bertanya pada ayahku (‘Ali bin Abi Talib), “Siapa manusia terbaik setelah Nabi Allah?, Dia menjawab : Abu Bakar. Kemudian aku bertanya : Siapa lagi setelah itu?, Dia menjawab : Umar. Aku khawatir dia akan menjawab Utsman, maka aku berkata setelah Umar itu engkau?, Dia menjawab Aku hanya orang biasa!" [Sahih Bukhari]
         - “Ali ibn Abi Talib tidak pernah meninggalkan satu shalat pun sebagai  ma'mum
           dibelakang Abu Bakar [Al-Bidaayah Wan-Nihaayah (5/249)]

         - Beberapa tahun kemudian, Ali ibn Abi Thalib menjadi Khalifah, dan fakta yang
           sangat jelas bahwa beliau tidak merubah kebijakan Abu Bakar dan Umar
           terkait properti dari Nabi [Sharh Saheh Muslim, by An-Nawawee (12/318)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar