Kamis, 31 Oktober 2013

Imamah, de Jure atau de facto?

Catatan Mutaallim Sunni
26 Dzulhijjah 1434

Dalam Buku Putih Mazhab Syiah (BPMS) Cetakan ke IV Desember 2012 pada halaman 22 dinyatakan bahwa : "kebijakan Tuhan (al hiikmah al ilahiyyah) menuntut perlunya kehadiran seorang imam setelah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan lebih sulit dicapai. Oleh karena itu syiah meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat ada seorang Imam untuk setiap masa yang melanjutkan misi Rasulullaah. Dalam hal ini syiah (imamiyah) bahwa Allah telah menetapkan garis Imamah sesudah Nabi Muhammad pada orang-orang suci dari dzuriyat atau keturunannya yang berjumlah 12 orang yaitu 1. Ali ibn Abu Thalib, 2. Hasan Ibn Ali, 3. Husain Ibn Ali, 4. Ali Ibn Husain, 5. Muhammad Al Baqir, 6. Ja'far Ibn Muhammad, 7. Musa Ibn Ja'far, 8. Ali Ibn Musa, 9. Muhammad Ibn Ali, 10. Ali Ibn Muhammad, 11. Hasan Ibn Ali dan 12. Muhammad Ibn Hasan Al Mahdi".
Selanjutnya pada halaman 23 dilankutkan pada halaman 24 dinyatakan bahwa : "kedua belas Imam itu telah dinyatakan oleh Rasulullaah sebagai Imam-imam sesudahnya. Pengangkatannya, syiah meyakini bahwa seorang Imam diangkat melalui nash atau pengangkatan jelas oleh Rasulullaah atau oleh Imam sebelumnya. Imam Ali Ibn Abi Thalib misalnya, syiah meyakini bahwa Nabi telah mengangkat dan menetapkannya sebagai Imam sesudah beliau. Kemudian juga dinyatakan bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintaha Islam, imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalam urusan agama dan dunia mereka.

Catatan Mutaallim Sunni
  1. Masalah Imamah ini ternyata sangat penting menurut Rafidhah Imamiyah Itsna Atsariyyah hingga disebut sebagai bagian dari kebijakan Tuhan yang tujuan penciptaan menjadi sulit dicapai tanpa Imamah. Bahkan Allah sudah menetapkan siapa-siapa sebagai Imam hingga 12 orang melalui nash dan pengangkatan oleh Rasulullaah.
  2. Jika hal Imamah ini begitu urgen kenapa dalam Al Quran tidak ada hal khusus yang menyebutkannya misalnya sebuah surah, karena untuk urusan sapi betina saja pada zaman Nabi Musa alaihissalaam, diabadikan dalam surah terpanjang yang bahkan diberi judul Surah Al Baqarah (Sapi betina).
  3. Kenapa pula tidak ada ayat dalam Al Quran yang menyebut kata Imamah, yang ada hanya kata Imam dalam bentuk tunggal mudzakkar disebutkan dalam 7 ayat dan hanya satu ayat yang menyebut dalam pengertian manusia sebagai Imam dalam hal ini Khalilullaah Ibrahim alaihissalaam dalam surah Al Baqarah ayat 124, selain itu Imam dalam artian kitab.
  4. BPMS menyebut kata "syiah (imamiyah)", maka bagaimana keyakinan orang lain yang juga mengaku syiah seperti zaidiyyah dan Ismailiyyah, yang tidak sependapat dengan rafidhah imamiyah dalam soal Imamah ini?. Tentunya tak boleh ada kontroversi jika urusan Imamah ini adalah bagian kebijakan Tuhan.
  5. Jika Allah Azza Wa Jalla benar telah menetapkan ke-12 orang Imam itu sesudah Nabi-Nya, kenapa nama Ali Ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu misalnya tidak ditemukan secara tersurat dalam Al Quran sebagaimana penyebutan nama-nama para Nabi dan Rasul Allah, padahal untuk urusan yang lain yang tidak se-urgen Imamah, Allah menyebut nama Zaid (anak yang dipelihara oleh Rasulllaah sejak kecil hingga dewasa, sebagaimana Ali Ibn Abi Thalib sendiri) secara tersurat untuk urusan perceraiannya di surah Al Ahzab ayat 37. Padahal kedudukan Zaid tidak ada apa-apanya dibanding Ali Ibn Abi Thalib sepupu dan menantu Nabi. Bahkan nama Abu Lahab yang kafirpun disebut secara jelas. Nama ke 11 Imam setelahnya pun tak ada.
  6. Disebutkan bahwa setelah Ali Ibn Abi Thalib adalah Hasan Ibn Ali setelah itu Husain Ibn Ali radiyallaahu anhum, setelah itu semuanya adalah keturunan Husain ibn Ali radiyallaahu anhu. Kenapa tidak ada keturunan Hasan Ibn Ali radiyallahu anhu padahal beliau juga punya keturunan dan mereka semuanya adalah Ahlul Bait
  7. Dari ke-12 Ahlulbait tersebut yang diklaim sebagai pemilik Imamah oleh rafidhah imamiyyah itsna asyariyyah, yang benar-benar memegang kekuasaan pemerintahan politik secara de jure dan de facto dalam sejarah hanya 2 orang yaitu Ali Ibn Abi Thalib dan Hasan Ibn Ali radiyallaahu anhuma. Yang lain tidak, bahkan sekedar sebagai lurah saja tidak. Jika ingin memasukkan nama Zaid Ibn Ali Ibn Husain Ibn Ali maka bisa menjadi 3 orang karena beliau punya pasukan pendukung militer bersenjata  ketika beliau memberontak pada zaman Hisyam Ibn Abdul Malik melebihi saudaranya Muhammad Al Baqir yang terdapat dalam daftar Imamah. Bahkan bisa jadi 4 orang jika memasukkan nama Muhammad Al Hanafiyyah Ibn Ali Ibn Abi Thalib, beliau punya pendukung dan pengikut setia yang banyak pula melebihi saudaranya Husain Ibn Ali yang ada dalam daftar Imamah klaim rafidhah imamiyah
  8. Diklaim dalam BPMS bahwa para Imam adalah selain sebagai pemimpin politik juga sebagai pemimpin spiritual tertinggi yang pengangkatannya secara nash atau diangkat langsung oleh Rasulullaah atau oleh Imam sebelumnya. Dalam sejarah kenyataannya secara de jure dan de facto yang ditunjuk oleh Rasulullaah sebagai Imam sholat kaum Muslimiin di Masjid Beliau ketika Beliau Shallallaahu alaihi wasallam sakit adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallaahu anhu dan bukan Ali Ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu, yang kemudian ikut berbaiat pada Abu Bakar ketika beliau naik menjadi khalfah dan Ali Ibn Abi Thalib tidak pernah ketinggalan sholat berjamaah sebagai makmum di belakang Abu Bakar yang bertindak sebagai Imam sholat sebagaimana penunjukan oleh Rasulullaah sebelumnya.
  9. Secara de jure dan de facto sejarah Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah setelah Utsman Ibn Affan radiyallaahu anhu. Jika benar Imamah Ali Ibn Abi Thalib adalah kebijakan Tuhan maka tentunya beliau tidak akan membiarkan Abu Bakar, Umar kemudian Utsman radiyallaahu anhum. Karena disebutkan bahwa beliau Ali Ibn Abi Thalib adalah seorang pemberani yang tidak takut kepada sesuatupun selain Allah Azza wa Jalla serta sangat menjaga agama yang dibawa oleh Rasulullaah Muhammad sepupu dan mertua beliau. Kenyataannya secara sejarah, beliau melakukan baiat pada ketiga khalifah sebelumnya.
  10. Setelah Ali Ibn Abi Thalib wafat, Al Hasan ibn Ali radiyallaahu anhu naik menjadi khalifah atau Amirul Mu'miniin. Secara de jure dan de facto dalam sejarah Amirul Mu'miniin Hasan Ibn Ali malah menyerahkan kekhalifahan pada Mu'awiyyah Ibn Abi Sufyan penguasa Syam radiyallaahu anhuma bukan kepada adiknya Al Husain Ibn Ali. Apakah Al Hasan Ibn Ali tidak tahu tentang daftar Imamah Ilahiyyah seperti wasiat kakeknya Nabi Muhammad Shallaahu alaihi wasallaam??, ataukah daftar urutan Imamah itu memang tidak ada?. Jika syarat jadi Imam adalah ditetapkan oleh Imam sebelumnya, maka Muawiyah radiyallaahu anhu adalah sah secara de jure kemudian de facto sebagai khalifah karena diserahi tugas kekhalifahan oleh Imam Ahlul Bait Al Hasan Ibn Ali sebagai pemimpin politik dan spiritual tertinggi.
  11. Sesungguhnya kepemimpinan bagi para Ahlul Bait adalah seperti musibah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib dalam pidato beliau yang terangkum dalam Nahjul Balaghah, beliau berkata : " Tinggalkanlah aku dan carilah selain aku, jika kalian meninggalkanku maka aku sama seperti kalian. Bisa jadi akulah yang paling mendengarkan dan paling menaati orang yang kalian pilih sebagai pemimpin kalian. Menjadi pembantu kalian bagiku jauh lebih baik daripada menjadi pemimpin kalian" (Nahjul Balaghah khutbah no 92 hal 236). Jika Imamah adalah keputusan Allah atas beliau maka dalam keadaan apapun beliau tidak boleh berkata seperti itu kepada masyarakat. Beliau bisa berkata seperti itu karena masyarakatlah yang menghendaki beliau jadi pemimpin dan membaiatnya. Dari sejarah diketahui bahwa para Imam Ahlul Bait bukanlah orang-orang yang tamak pada kepemimpinan walau secara kompetensi merekalah yang paling pantas. Mereka adalah manusia-manusia yang menjaga martabat dan kehormatannya.
  12. Ali Ibn Abi Thalib menulis surat kepada Muawiyah : "Orang-orang yang membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman telah membaiatku untuk menjalankan sebagaimana yang dibaiatkan kepada mereka bertiga, sehingga orang yang hadir tidak berhak memilih dan yang tidak hadir tidak berhak menolak. Syura adalah hak kaum Muhajirin dan Anshar. Apabila mereka bersepakat menjadikan seorang sebagai Imam maka itulah ridha Allah. Jika orang itu keluar dari amanat mereka karena berbuat cela atau bid'ah maka mereka memasukkannya kembali ke posisi semula. Jika ia menolak untuk kembali maka mereka memeranginya karena ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, padahal Allah telah memberinya jabatan itu (     إِنَّهُ بَايَعَنِي الْقَوْمُ الَّذِينَ بَايَعُوا أَبَا بَكْر وَعُمَرَ وَعُثْمانَ عَلَى مَا بَايَعُوهُمْ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَكُنْ لِلشَّاهِدِ أَنْ يَخْتَارَ، وَلاَ لِلغَائِبِ أَنْ يَرُدَّ، وَإنَّمَا الشُّورَى لِلْمُهَاجِرِينَ وَالاَْنْصَارِ، فَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى رَجُل وَسَمَّوْهُ إِمَاماً كَانَ ذلِكَ لله رِضىً، فَإِنْ خَرَجَ عَنْ أَمْرِهِمْ خَارِجٌ بِطَعْن أَوْبِدْعَة رَدُّوهُ إِلَى مَاخَرَجَ منه، فَإِنْ أَبَى قَاتَلُوهُ عَلَى اتِّبَاعِهِ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ، وَوَلاَّهُ اللهُ مَا تَوَلَّى )". (Nahjul Balaghah, Kitab Ila muawiyah no 6 hal 526). Ungkapan Amirul mukminin Ali Ibn Abi Thalib ini mengandung beberapa poin penting : a. Musyawarah (Syura) adalah hak para Shahabat Rasulullaah dari Muhajirin dan Anshar, b. Kesepakatan para Shahabat untuk mengangkat seorang Imam adalah faktor turunnya keridhaan Allah sekaligus tanda persetujuan-Nya, c. Imamah di masa shahabat tidak dapat ditegakkan tanpa andil mereka atau tanpa pemilihan mereka, d. Keputusan dan kebijakan para shahabat hanya ditolak oleh pelaku bid'ah yang memberontak dan mengikuti selain jalan orang mukmin. Maka dimanakah kesesuaian klaim imamah rafidhah imamiyyah itsna asyariyyah dengan poin-poin penting tersebut di atas (Tsumma Abshartul Haqiiqah halaman 161 sebagaimana dikutip dalam  فكر الخوارج والشعة للدكتور الصلابي )

Rabu, 23 Oktober 2013

Hadits Ghadir Khum


Catatan Mutaallim Sunni
18 Dzulhijjah 1434

Dalam Buku Putih Mazhab Syiah (BPMS) Cet. IV, 2012 pada bagian lampiran 2 (halaman 147-157), disebutkan tentang Hadits Ghadir Khum, suatu tempat antara Mekkah dan Medinah, bahwa sesudah haji wada, Rasulullaah Shallallaahu alaihi wasallam berkhutbah di tempat tersebut dibawah terik matahari, di hadapan 150.000 orang shahabat sambil memegang tangan Imam Ali Ibn Abi Thalib (a.s). Hadits ini dikatakan yang paling mutawatir karena disaksikan puluhan ribu shahabat. Selanjutnya dikutip sabda Rasulullaah
من كنت مولاه فعلي مولاه, اللهمّ وال من والاه وعاد من عاداه
Diterjemahkan dalam BPMS : “Barangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, dan musuhi orang yang memusuhinya”.

Kemudian disebutkan redaksi lain diantaranya
من كنت مو لاه فهذا علي مولاه
Diterjemahkan dalam BPMS : “Barangsiapa menjadikan aku mawla-nya maka ini Ali adalah mawla-nya”.

Selanjutnya disebutkan bahwa Umar Ibn Khattab adalah orang yang pertama kali mengucapkan selamat atas kepemimpinan Ali sekaligus mengakuinya. Lalu disebutkan referensinya sebanyak 81 sumber yang semuanya sumber sunni.

Catatan Mutaallim Sunni

Sebagian besar catatan disadur dari buku  
فكر الخوارج و الشيعة للدكتور الصلابي
 
  1. Ghadir Khum adalah tempat antara Mekkah dan Medinah, tepatnya di Al Juhfah, berjarak hampir 26 mil dari Rabigh ke arah timur. Saat ini tempat itu dinamakan Al Ghurbah. Di tempat inilah dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullaah berceramah menyampaikan keutamaan Ali ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu.
  2. Peristiwa Ghadir Khum setelah haji wada, artinya Rasulullaah hendak kembali ke Medinah, maka yang mendengarkan ceramah Beliau adalah penduduk Medinah dan yang searah yang melewati rute ke Medinah.
  3. Perbedaan pendapat antara Ahlussunnah dengan Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah terletak pada interpretasi sabda Rasulullaah Shallallaahu alaihi wa sallam, bukan pada keshahihan hadits. Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah berdalih bahwa kata maula berarti kepemimpinan/kewalian, sedang Ahlussunnah berdalil bahwa kata maula berarti al Muwalah yang artinya menolong serta mencintai sebagai lawan dari kata Al Mu'adah yang berarti memusuhi. Beberapa alasannya :
    a). Ada redaksi tambahan yang disebutkan dalam beberapa riwayat yang sebagiannya dianggap shahih oleh sebagian ulama ahlussunnah, yaitu doa Rasulullaah : Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya, dan musuhi orang yang memusuhinya. Kata memusuhi ini adalah penjelasan terhadap makna kata maula, sehingga maula berarti orang yang ditolong dan dicintai.
    b). Ibnu Katsir mengatakan bahwa kata maula bisa dialamatkan kepada Tuhan, pemilik/raja, pemberi nikmat, penolong, pencinta, teman dekat, hamba sahaya, tuan yang memerdekakan, keponakan, dan besan. Semua ini diungkapkan oleh orang arab dengan kata maula.
    c). Rasulullaah adalah orang Arab yang paling fasih, jika Rasulullaah memaksudkan bahwa imamah kekhalifahan adalah milik Ali sepeninggal Beliau, maka tidaklah beliau akan menggunakan kata dengan yang memiliki banyak pengertian untuk meminimalisir perbedaan penafsiran. Pastilah beliau akan bersabda : Ali adalah penggantiku sepeninggalku atau dengan redaksi semisal.
    d). Dalam surah Al Hadid ayat 15, Allah Subhanahu wa taala menyebut kata neraka sebagai maula karena sangat lekat dan menyatu dengan orang-orang kafir.
    e). Al muwalah (menolong dan mencintai) adalah karakter yang melekat pada diri Ali radiyallaahu anhu, jadi menurut pengertian ini Ali radiyallaahu anhu adalah wali kita sebagaimana Firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 55
    f). Tentang hadits ini yang diriwayatkan melalui jalur Zaid ibn Arqam,Imam Asy Syafii menjelaskan bahwa kata maula maksudnya adalah solidaritas Islam sebagaimana firman Allah dalam surah Muhammad ayat 11, sehingga hadits ini hanya menunjukkan bahwa Ali adalah seorang wali Allah yang wajib ditolong dan dicintai serta didukung, bukanlah maksudnya sebagai kekhalifahan.
  4. Peristiwa Ghadir Khum memiliki latar belakang sebagaimana yang dituturkan oleh shahabat Buraidah in Al hashib radiyallaahu anhu bahwa Ali diutus oleh Rasulullaah kepada Khalid al Walid di Yaman untuk membagi ghanimah menjadi lima bagian dan mengambil seperlimanya. Diantara rampasan perang itu ada seorang dayang-dayang yang cantik, maka dayang ini masuk ke yang seperlima dan Ali memberi tahu shahabat yang lain bahwa itu menjadi bagiannya dan ia menggaulinya. Para shahabat yang lain tidak menyukai hal tersebut maka Khalid mengirim surat kepada Rasulullaah yang dibawa oleh Buraidah yang juga tidak menyukai perbuatan Ali. Maka Rasulullaah kemudian bersabda pada Buraidah : Jangan membencinya. Sebab haknya dalam seperlima lebih banyak dari itu.
  5. Diriwayatkan pula banyak orang yang tidak menyukai kebijakan keras Ali ibn Abi Thalib terhadap pasukan dari Yaman yang juga menuju Mekkah untuk berhaji. Mendengar kabar miring tentang Ali tersebut maka Rasulullaah setelah haji wada saat pulang melintasi Ghadir Khum, Beliau berkhutbah untuk menyatakan ketidakbersalahan Ali, mengangkat nama baiknya dan menegaskan keutamaannya, agar lenyap keraguan orang-orang terhadap Ali ibn Abi Thalib radiyallaahu anhu. Rasulullaah menunda penjelasan beliau hingga selesai haji wada hingga di Ghadir Khum karena yang mengkomplain Ali adalah para shahabat dari Medinah dan merekalah yang berperang bersama Ali. Maka khutbah itu khusus untuk mereka.
  6. Salah satu bukti bahwa khutbah itu khusus bagi mereka yang tidak mengenal keutamaan Ali ibn Abi Thalib adalah ketika Buraidah radiyallaahu anhu meremehkan Ali dihadapan Rasulullaah karena kekerasan sikap Ali,raut muka Rasulullaah berubah, kemudian Beliau bertanya, “Wahai Buraidah bukankah aku orang yang lebih utama diantara orang yang beriman dibanding diri mereka sendiri?, Tentu saja wahai Rasulullaah jawab Buraidah, selanjutnya Rasulullaah bersabda Barangsiapa aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya.
  7. Peristiwa yang terjadi ketika Ali radhiallahu anhu telah menjadi khalifah, sekelompok orang menemui Ali dan mengucapkan Assalamu Alaikum wahai maula kami. Ali menukas :”Bagaimana bisa aku menjadi maula kalian sedang kalian adalah orang-orang arab?, mereka menjawab, sewaktu di Ghadir khum, kami mendengar Rasulullaah bersabda bahwa Barangsiapa aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ketika mereka pergi aku (Rihyah Al harits, yg bercerita), mengikuti mereka lalu aku bertanya siapa mereka itu?, orang-orang menjawab : sekelompok kaum Anshar (medinah) diantaranya terdapat Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu anhu. Pelajarannya adalah bahwa Ali radhiallahu anhu sendiri tidak memahami kata maula dengan arti pemimpin atau imam, jika Ali memahami bahwa kata maula berarti pemimpin maka tentu beliau tidak menegur orang-orang yang memanggilnya “wahai maula kami”, karena saat itu beliau adalah seorang Khalifah.
  8. Dari buku kelompok Rafidhah Imamiyyah Itsna Asyariyyah sendiri terdapat riwayat dari Ahlul bait yang menolak hadits Ghadir Khum sebagai teks dalih atas imamah dan kekhalifahan Ali sepeninggal Rasulullaah
    a. Imam Al Husain radiyallaahu anhu pernah ditanya. Bukankah Rasulullaah bersabda “Barangsiapa aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya?, Al Husain menjawab : “Ya, akan tetapi wallahu a'lam, yang dimaksud Rasulullaah bukanlah imamah ataupun kekuasaan. Seandainya maksudnya memang seperti itu, tentulah Beliau sudah mengatakannya dengan jelas kepada mereka.
    b. Imam Abdullah putra Al Husain mengatakan “Tidak seorangpun di antara kami yang mempunyai keistimewaan dalam urusan ini dibandingkan orang lain, dan tidak satupun dari ahlulbait menjadi Imam yang Allah wajibkan untuk ditaati”. Dalam riwayat ini Abdullah menolak jika Imamah Amirul mukminin Ali adalah wahyu dari Allah.
  9. Karena seluruh sumber yang disebut dalam BPMS tentang Ghadir Khum adalah dari sunni maka berikut teks lain dari sunni terkait Ali radhiallahu anhu dan kekhalifahan :
    - Ali ibn Abi Thalib berkata,
“Ketika Nabi Shallallaahu alaihi wasallam wafat, kami melihat situasi kami, lalu menyadari bahwa Nabi telah memilih Abu Bakar sebagai Imam untuk Sholat. Dan kami merasa tentram untuk memilih untuk urusan dunia kami, orang yang sama dengan yang dipilih oleh Rasulullaah untuk  urusan agama kami. Oleh karena itu, kami memilih Abu Bakar sebagai khalifah.At-Tabaaqaat, oleh ibn Sa’ad (3/183)]
    - Ali juga berkata "Manusia terbaik setelah Rasul Allah adalah Abu Bakar dan Umar. Kecintaan padaku tidak akan bersama dengan kebencian terhadap Abu Bakar dan Umar di hati-hati orang yang beriman”[At-Tabarani dalam al-Awsat]
    - Ali juga berkata "Tidak ada orang yang menemuiku, kemudian mengutamakan aku di atas Abu Bakar dan Umar, kecuali aku akan mencambuk orang itu seperti hukuman seorang pengkhianat” [Al Furgaan Baynal Haq wal Baatil (pg. 21,22)]

    - Dari Ali
Diceritakan oleh Muhammad bin Al-Hanafiya (putra Ali): Aku bertanya pada ayahku (‘Ali bin Abi Talib), “Siapa manusia terbaik setelah Nabi Allah?, Dia menjawab : Abu Bakar. Kemudian aku bertanya : Siapa lagi setelah itu?, Dia menjawab : Umar. Aku khawatir dia akan menjawab Utsman, maka aku berkata setelah Umar itu engkau?, Dia menjawab Aku hanya orang biasa!" [Sahih Bukhari]
         - “Ali ibn Abi Talib tidak pernah meninggalkan satu shalat pun sebagai  ma'mum
           dibelakang Abu Bakar [Al-Bidaayah Wan-Nihaayah (5/249)]

         - Beberapa tahun kemudian, Ali ibn Abi Thalib menjadi Khalifah, dan fakta yang
           sangat jelas bahwa beliau tidak merubah kebijakan Abu Bakar dan Umar
           terkait properti dari Nabi [Sharh Saheh Muslim, by An-Nawawee (12/318)]